Rabu, 24 Desember 2014

Wishfull Wednesday #1

Hiyaaa, baru pertama kali ikutan event ini. Pengen banget ikutan giveaway-nya Mbak Astrid (salam kenal Mbak :D).

Okay here we go, untuk pertama kali ini saya pengen banget bukunya Dee yang judulnya PARTIKEL. Emang gi tu sih, kalo baca buku serial di acak-acak bacanya. Serial Anak Mamaknya Tere Liye, Triloginya Ahmad Fuadi dan kali ini Dee Lestari yang kena sasaran. Kenapa pengen buku ini? So simple, karena pengen baca serial lengkapnya.

Padahal Gelombang udah punya lho (gak ada yang nanya).


Bukunya bisa diorder disini



Moga aja Mbak Astrid berbaik hati kali ini, yaah buat salam perkenalan. Muah :D

Minggu, 21 Desember 2014

Review 8 # Pudarnya Pesona Cleopatra

Judul             : Pudarnya Pesona Cleopatra
Pengarang     : Habiburahman El Shirazy
Halaman        :  110 hlm
Penerbit        : Republika
Cetakan        : XXII, November 2012
ISBN             : 979360400
Stars            :  4 of 5

Dulu semasa kuliah pernah membaca novel mini ini, dan ketika ada Book Fair melihat buku mungil berserakan di antara buku tebal lainnya, tanpa berpikir panjang langsung membelinya.

Buku ini terdiri dari 2 cerita novel mini yang berjudul “Pudarnya Pesona Cleopatra” dan “Setetes Embun Cinta Niyala”. Gaya khas Kang Abik dalam meracik cerita percintaan islami  dimana ketaatan dan kepasrahan kepada Allah selalu ditonjolkan. Kedua cerita tersebut memberikan pesan mendalam kepada pembaca untuk memaknai hakikat cinta sejati.

Pudarnya Pesona Cleopatra

Alkisah seorang pemuda, dan sampai terakhir membaca ternyata penulis tidak menyebutkan namanya, hanya menggambarkan kata “Aku” dan “Mas”, yang menggilai gadis mesir yang rupawan. Membayangkan bahwa istrinya kelak juga akan secantik artis-artis Mesir yang diibaratkan seperti Cleopatra. Namun, takdir berkata lain, ibunya menjodohkan dengan gadis shalihah yang telah hafal Al Quran bernama Raihana.

Lelaki tersebut awalnya menolak, namun karena desakan ibunya, akhirnya mengiyakan perjodohan tersebut. Ia juga yakin dengan pepatah witing tresno jalaran saka kulino. Enam bulan pernikahan berlalu, cinta itu tak kunjung muncul, justru rasa muak, malas dan pembandingan yang selalu muncul. Raihana cantik, shalihah, dan taat dengan suaminya. Permasalahan justru ada pada suaminya yang tidak bisa move on dari obsesinya memiliki istri secantik Cleopatra.

Suami Raihana mengakui bahwa perilakunya salah, ia mencoba untuk menghalaunya tetapi belum bisa. Setiap bertemu dengan istrinya, justru perasaan tidak nyaman itu muncul. Pada akhirnya Raihana mengetahui bahwa suaminya tidak pernah mencintainya dan mennikahinya hanya terpaksa. Cinta dan baktinya tidak berubah, meskipun wajahnya sering terlihat sembap karena menangis—bukan karena kebencian, suaminya tidak luluh juga.

Karena pertanyaan ibu dan mertuanya tentang anak yang tak kunjung lahir membuatnya (saya bingung menyebut nama suami Raihana :D) risih dan mencoba merubah sikap lebih halus dan perhatian terhadap Raihana. Usaha tersebut membuahkan hasil, Raihana hamil. Semua keluarga menyambutnya gembira, kecuali suaminya. Entah mengapa dalam hal ini, saya membayangkan begitu nestapanya suami Raihana yang melawan dirinya sendiri. Sempat membenci tokoh ini, akan tetapi mungkin saja tokoh ini benar-benar ada di dunia nyata.

Memasuki usia kandungan bulan ke-6, Raihana meminta ijin untuk tinggal dengan orang tuanya karena alasan kesehatan. Suaminya pun mengabulkan. Ada perasaan lega, nyaman, selepas istrinya pergi. Sebelum pergi, istrinya berpesan kepada suaminya untuk menyusulnya saat mendekati kelahiran dengan membawa rekening ATM yang diletakkan di bawah tempat tidurnya.

Beberapa waktu berselang, terjadi percakapak antara suami Raihana dengan temannya di kantor, yang menjadi titik balik cerita. Teman kantornya pernah menikah dengan gadis Mesir. Sewaktu temannya bercerita, suami Raihana merasakan beruntungnya mendapat Raihana, benih cinta itu muncul. Cinta temannya itu juga berlandaskan karena kecantikan gadis Mesir yang menawan, hingga pada akhirnya berakhir dengan perceraian.

Suami Raihana bergegas ke rumah mertuanya untuk menjemputnya (tuh kan saya bingung lagi menyebut kata “nya”, karena gak tau nama suaminya. Atau saya yang kurang teliti membaca?). Ia terlambat. Raihana meninggal 2 minggu yang lalu karena terpeleset.

Antiklimaksnya di ending cerita, meskipun ada alasan bahwa mertuanya telah mengirimkan kabar kepada suaminya, tetapi suaminya sedang diklat. Tetapi untuk urusan sepenting ini, meninggalnya istri sampai suaminya baru mengetahui 2 minggu kemudian. oh No.

Secara pesan, saya menyukainya. Tetapi ada beberapa penceritaan yang membuat saya bingung membedakan cerita ini dibawakan oleh orang pertama atau orang ketiga. Selain itu ada kesalahan ketik di beberapa kalimat. Selebihnya, penulis sukses menggambarkan tentang landasan cinta dalam menikah. Bahwa rupa seharusnya merupakan kriteria nomor sekian setelah agama. Tapi entahlah, kadang kita masih sering memaknai hal berdasarkan artifisialnya. Mungkin termasuk saya.

Setetes Embun Cinta Niyala

Dalam novel mininya yang kedua ini, Kang Abik lebih mengeksplore konflik. Niyala, seorang calon dokter yang memiliki umi angkat dan kakak angkat sedang merasakan lara karena surat dari Ayahnya—Rusli Hasibuan. Rusli meminta anaknya untuk menikah dengan Roger—seorang mualaf dan merupakan kakak tingkat sewaktu SD.

Dalam isi surat tersebut, ayahnya juga menjelaskan bahwa keluarganya memiliki hutang budi dan hutang uang terhadap keluarga Cosmas. Kegelisahan itu semakin hari merenggut keceriaan Niyala. Gadis itu merasa tertekan karena sangat mengetahui karakter dari bakal calon suaminya. Niyala memiliki pengalaman buruk dengan Roger. Lelaki itu pernah berusaha memerkosanya waktu duduk di Sekolah Dasar. Selain itu, Roger telah menodai sahabatnya hingga hamil dan sekarang menjadi pelacur.

Beberapa hari lagi, ayah dan kakak kandungnya datang dari Sidempuan. Kakak angkatnya yang bernama Faiz juga pulang ke Jakarta untuk menghadiri prosesi wisuda Nilaya. Di samping itu, Faiq juga ingin dikenalkan dengan Diyah—anak dari teman uminya.

Singkat cerita, Niyala meminta bantuan Faiq untuk menolak sehalus mungkin perjodohan itu sambil mencari jalan untuk melunasi hutang ayahnya. Faiq diminta untuk mengatakan bahwa Niyala telah memiliki calon sendiri.

Dalam kisah ini, konfliknya klise, perjodohan yang dilandaskan karena orang tuanya memiliki hutang dengan pihak lain. Saya menunggu penyelesaian dari konflik tersebut. Dan ternyata, Kang Abik memang ahlinya dalam meramu tentang perjodohan seperti Anna yang akhirnya berjodoh dengan Azzam setelah beberapa konflik yang dilaluinya.

Sesampai ayah dan kakaknya tiba di rumah, terjadi percakapan kecil antara umi angkat dan ayah kandungnya. Mereka berdua menyerahkan sepenuhnya kepada Niyala, setelah wisuda, ia akan tinggal bersama siapa. Niyala membisu, karena mengetahui niat ayah kandungnya datang adalah menjemputnya. Faiq yang menjadi juru bicara Niyala, sesuai permintaan Niyala, ia mengatakan bahwa Niyala telah memiliki calon yang dicintainya sejak SMP.

Semula Niyala merasakan biasa saja, tetapi lama kelamaan ada keganjilan dari cerita Faiq. Dalam kesempatan tersebut, Faiq melamar dan mengutarakan keinginannya untuk menikahi Niyala. Semua terkejut mendengarkan penyataan Faiq, tak terkecuali Niyala.

Seperti halnya di novel mini yang pertama, dalam cerita ini, ada beberapa bagian yang membuat rancu pembaca tentang pencerita dalam novel tersebut menggunakan orang pertama atau orang ketiga. Selain itu ada typo di halaman 63, terdapat kata yang diketik doble, yaitu “baginya”.

Dalam buku ini, pembaca juga dimanjakan dengan sajak-sajak keren yang dikutip dari beberapa referensi. Okay, happy reading!



Sabtu, 20 Desember 2014

Review 7 # SABTU BERSAMA BAPAK

Salah satu faktor kepincut buku ini adalah, judul dan covernya :*
Judul             : SABTU BERSAMA BAPAK
Pengarang     : Adhitya Mulya
Halaman        : 277 hlm
Cetakan        : pertama, 2014
Penerbit        : Gagas Media
ISBN             : 9789797807214
Stars            : 5 of 5

SINOPSIS

“Hai, Satya! Hai Cakra!” sang Bapak melambaikan tangan.
Ini Bapak.
Iya benar kok, ini Bapak.
Bapak Cuma pindah ke tempat lain. Gak sakit. Alhamdulillah,
Berkat doa Satya dan Cakra.

...

Mungkin Bapak tidak dapat duduk dan bermain di samping kalian.
Tapi, Bapak tetap ingin kalian tumbuh dengan Bapak di samping kalian.
Ingin tetap dapat bercerita kepada kalian.
Ingin tetap dapat mengajarkan kaliab.
Bapak sudah siapkan.

Ketika kalian punya pertanyaan, kalian tidak pernah perlu bingung
Kemana harus mencari jawaban.
I don’t let death take these, away from us.
I don’t give death, a chnace.

Bapak ada di sini, di samping kalian.
Bapak sayang kalian.
...

Ini adalah sebuah cerita. Tentang seorang pemuda yang belajar mencari cinta. Tentang seorang pria yang belajar menjadi Bapak dan suami yang baik. Tentang seorang ibu yang membesarkan mereka dengan penuh kasih. Dan..., tentang seorang yang meninggalkan pesan dan berjanji selalu ada bersama mereka.

***


Masih ingatkah dengan film Bollywood Kuch-Kuch Hota Hai yang kadang-kadang masih diputar di televisi dan sukses membuat kita menangis haru. Adegan Tina yang mengirimkan surat untuk putrinya—Anjali yang diberikan setiap ulang tahunnya. Dalam buku ini, penulis memberikan “cara baru” bagi orang tua agar selalu diingat oleh anak-anaknya selain dengan surat ataupun foto, lebih tepatnya untuk memberikan pesan untuk mereka.

Gunawan Garnida yang menderita kanker dan divonis  dokter hanya memiliki waktu 1 tahun lagi untuk hidup. Dalam sisa waktunya tersebut, ia menyiapkan bekal untuk menemani tumbuh kembang anak-anaknya—Satya dan Cakra yang memanggilnya dengan sebutan Bapak. Akhirnya, dengan bantuan istrinya, Bu Itje, merekam melalui handycam, cerita-cerita tentang dirinya baik masa kecil, remaja maupun tuanya.

Mungkin Bapak tidak dapat duduk dan bermain di samping kalian. Tapi, Bapak akan tetap ingin kalian tumbuh dengan Bapak di samping kalian. Ingin tetap dapat bercerita kepada kalian. Ingin tetap dapat mengajarkan kalian. Ketika kalian tidak pernah perlu bingung kemana harus mencari jawaban (hal 5).

Entah mengapa mata mendadak gerimis setiap membaca bagian tulisan tentang rekaman video Bapak (panggilan Gunawan Garnida—Red). Planning is everything (hal 18), Bapak menceritakan tentang rencana pernikahannya dulu dengan Bu Itje. “Hari ini, saya janji sama kamu. Melindungi kmau. Sekarang dan nanti. Saat hidup dan mati (hal 37)”. Secara tersirat rekaman itu memberikan pelajaran untuk anak-anaknya untuk mempersiapkan pernikahan mereka dengan baik.

Satya dan Cakra banyak mengambil pelajaran dari rekaman yang dibuat oleh Bapaknya, yang mereka lihat setiap Sabtu. Satya berubah menjadi lebih care kepada istri dan anaknya, ia yang sebelumnya lebih suka membelikan mainan untuk anaknya setelah melihat rekaman Bapaknya, Satya mencoba untuk meluangkan waktu lebih banyak untuk anak-anaknya dengan membuat mainan daripada membelinya.

Buku ini secara tidak langsung menjadi cermin, bagaimana harus menjadi suami/istri yang baik untuk pasangan. Bagaimana menjadi anak yang dapat membanggakan orang tua dengan potensi yang dimiliki masing-masing anak dan  bagaimana menjadi orang tua yang dapat dijadikan panutan untuk anak-anaknya.

Selain sarat akan nilai-nilai kehidupan, buku ini juga terselip cerita-cerita humor yang membuat pembaca terpingkal dibuatnya. Tokoh Cakra melalui kisah percintaan dan perjodohannya. Penulis mampu memegang tombol ON : OFF pembaca, untuk beberapa detik, pembaca dibuat haru biru dengan adegan yang menyentuh tetapi beberapa detik kemudian dibuat menyeringai dengan humor ringan yang diciptakan.  

Sepertinya adagium like father like son terbukti benar adanya. Cakra dan Satya seperti berkiblat dan menerapkan petuah yang diberikan Bapaknya.

Ah, saya tidak salah waktu melihat judul dan cover buku ini dan langsung memutuskan untuk membelinya. Tetapi cover yang dibuat tidak menipu, karena konten buku ini sangat berisi dan bergizi. Suddenly,i really miss my Dad.

Menuliskan ini saja, saya mengusap alliran bening itu, mensyukuri bahwa saya masih mempunyai Bapak dan Ibu yang tidak pernah alpa menyebutkan nama saya dalam doa mereka. Adios


Minggu, 30 November 2014

Review 6 # RINDU

   https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSKiTtPC0o3UZ0H5rSzJZrO1sludKHbp-wndY8iPE-FNI11QDBUYzvlhx60Qfe2zL_FAMaUhXWo7YGp91vm2LASzRuHKVULoQQc_0REDSEO4qIwnj8v4KZruwpT94XiB6xD4VqVH21x4k/s1600/RINDU.jpg

Author                : Tere Liye
Cetakan              : kedua, November 2014
Penerbit              : Republika
ISBN                  : 978-602-8997-90-4
Halaman             : 544 hlm
Bintang               : 5 of 5

Dalam sebulan buku ini sudah masukan cetakan yang kedua. Makin gak sabar membaca. First, i assume that the meaning of “YEARN” in the subtitle of this book is about love things. Tetapi ternyata saya salah kaprah, memang ada kisah percintaan tetapi bukan itu esensi dari Rindu yang dimaksud dari judul ini. Gaya khas Tere Liye kental sekali mengkombinasikan filosofi dalam pertanyaan-pertanyaan pada sebuah cerita. Setelah membaca lengkap isi buku ini, saya berkesimpulan bahwa buku ini seperti cerita Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Bedanya, dalam RTdW, filosofi-filosofi hanya dimainkan oleh Ray dan dijawab oleh sosok misterius. Sedangkan dalam kisah ini pertanyan tersebut ditanyakan oleh beberapa peran ; Daeng Andipati, Ambo Uleng, Bundo Upe, Mbah Kakung bahkan yang menjawab pertanyaan dari pertanyaan keempat peran tersebut—Gurutta Ahmad Karaeng, juga memiliki pertanyaan dalam kehidupannya.

Novel ini menceritakan tentang perjalanan haji yang dilakukan pada jaman dahulu waktu masih penjajahan kompeni yang menggunakan alat transportasi kapal. Kapten dari kapal tersebut bernama Kapten Phillips—dan saya menebak bahwa penulis juga terinspirasi dari nama kapten pada film Kapten Phillips. Kapal yang menuju Jeddah tersebut berhenti di beberapa titik untuk menjemput penumpang.

Penumpang dalam perjalanan akbar ini antara lain Gurutta Ahmad Karaeng, Bundo Upe dan suaminya, Mbah Kakung dan Mbak Putri, Ambo Uleng, Daeng Andipati beserta istri dan kedua putrinya—Anna dan Elsa. Selain itu ada penumpang-penumpang lainnya dalam cerita ini yang menjadi figuran.

Alur, setting dan plotnya yang dikemas secara apik oleh penulis membuat saya berkali-kali menahan nafas, membaca scene beberapa kali sambil menggaris bawahi (iya takut lupa reportase ini—ahaha). Ada beberapa misteri yang satu per satu diuraikan dalam bab berikutnya. Tidak seperti novel tere liye yang lainnya, yang membuat saya kehabisan tisu karena misek-misek. Buku ini spesial pake sambal, PAS takarannya.

Alkisah, Kapal Blitas Holland, adalah kapal yang digunakan untuk mengangkut penumpang yang hendak berhaji. Ada beberapa pelabuhan besar  persinggahan—Makassar, Surabaya, Batavia, Semarang, , Lampung, Bengkulu, Padang, Banda Aceh, Kolombo dan Jeddah.

Di pelabuhan Makassar, seorang ulama besar bernama Ahmad Karaeng yang hampir saja dicekal naik oleh Sersan Lucas. Karena dianggap menyebarkan semangat kemerdekaan. Ada juga Daeng Andipati, seorang pedagang terkemuka yang juga mengajak istri serta kedua putrinya bernama Elsa dan Anna.

Di pelabuhan Makassar, Kapten Phillips merekrut seorang pemuda untuk menjadi kelasi di kapalnya, Ambo Uleng (Anak lelaki yang bercahaya bagaikan rembulan). Pemuda berkulit hitam, pendiam dan menyisakan misteri akibat nanar hatinya.
 “Dalam banyak hal, diam justru membawa kebaikan”

Ada 5 tokoh sentral yang mencadi tokoh cerita di buku ini :

Bonda Upe

Gadis keturunan China yang memilliki masa lalu yang kelam sebagai cabo. Hidupnya selalu dihantui oleh perasaan bersalah. Hingga pada suatu waktu, ia kembali dipaksa mengingat masa lalunya yang kelam saat bertemu dengan sejawatnya di pelabuhan Batavia. Serius saya tertegun.

“Kita tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Itu kehidupan kita. Tidak perlu siapapun mengakuinya untuk dibilang hebat. Kitalah yang tau persisi setiap perjalanan hidup yang kita lakukan. Karena sebenarnya yang tahu persis apakah kita bahagia atau tidak, tulus atau tidak, hanya diri kita sendiri. Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita sendiri. Nyes.

Daeng Andipati

Daeng Andipati “kelihatan” bahagia di mata orang-orang. Mapan, memiliki istri cantik dan anak-anak yang cerdas. Jauh di lubuk hatinya, Daeng Andipati masih mencari-cari makna kebahagiaan itu sendiri karena ada kebencian yang menganga terhadap ayahnya. Orang lain melihat sosoknya sebagai pribadi yang selalu bahagia dan selalu mendapatkan apa yang ia inginkan, padahal dalam sanubarinya menyimpan dendam yang ia simpan sendiri sejak kecil.

“Berhenti membenci ayahmu, karena kau sedang membenci diri sendiri. Berikanlah maaf karena kau berhak atas kedamaian dalam hati. Tutup lembaran lama yang penuh coretan keliru”

Ambo Uleng

Pemuda pendiam yang menyimpan luka hati mendalam karena patah hati ingin berlari sejauh mungkin. Hingga takdir membawanya kembali pada jodoh yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.

“Maka jangan pernah merusak diri sendiri. Kita boleh jadi benci atas kehidupan ini. Boleh kecewa. Boleh marah. Tapi ingatlah nasihat lama, tidak pernah ada pelaut yang merusak kapalnya sendiri (hal 284). Penjelasan atas pertanyaan Ambo Uleng terdapat di halaman 399-407.

Mbah Kakung dan Mbah Putri

2 sejoli ini sangat romantis meskipun usianya sudah senja. Hingga akhirnya, di tengah perjalanan kapal menuju Jeddah, Mbah Putri meninggal dunia dan jasadnya disemayamkan di tengah lautan. Kesedihan yang tiada terperi dirasakan oleh Mbah Kakung. Keadaan tersebut juga sempat membuat suasana kapal lengang karena penumpang juga merasakan kesedihan Mbah Kakung.

 “Yakinilah bahwa kematian Mbah Putri adalah takdir Allah yang terbaik. Biarkan waktu mengobati semua kesedihan dan lihatlah penjelasan ini dari kacamata yang berbeda.

Gurutta

Ia digambarkan sebagai seorang ulama yang sangat arif dan bijaksana. Dalam perjalanan ke Jeddah, waktunya dihabiskan untuk menulis.

Quote yang saya suka dari Gurutta adalah “Jika kau ingin menulis satu paragraf yang baik, kau harus membaca satu buku. Maka jika dalam tulisan itu ada beratus-ratus paragraf, sebanyak itulah buku yang harus kau baca (hal 196).

Dalam cerita ini, Gurutta yang dianggap sebagai ulama bagi penumpang lainnya, ternyata juga memiliki pertanyaan besar dalam hidupnya. Hingga tanpa kejadian, dalam sebuah scene, pertanyaan tersebut terjawab lengkap.

“Lawanlah kemungkaran dengan 3 hal : dengan tanganmu, tebaskan pedang penuh gagah. Dengan lisanmu, sampaikan dengan perkasa. Dan dengan benci dalam hati, tapi itu sungguh selemah-lemahnya iman.
Apakah mungkin karena ia sendiri memang tidak pernah seyakin itu atas pengetahuan yang ia miliki? Apakah mungkin karena ia sendiri memang tidak sebijak, setangguh, bahkan sebaik itu? Mungkin itu bagian yang paling munafik dalam seluruh cerita. Bagaimana ia menulis sebuah buku yang membuat jutaan pembaca tergerak hatinya, jika ia sendiri tidak tergerak? Bagaimana ia bicara tentang perlawanan, tapi ia sendiri adalah pelaku yang paling pengecut?

Highly recommended book.

 



Senin, 03 November 2014

Review 5 # Ku temukan Engkau di setiap tahajudku

Judul             : Ku temukan Engkau di setiap tahajudku
ISBN             : 978-602-7888-52-4
Penerbit         : Bunyan (Bentang Pustaka)
Cetakan         : Pertama, Edisi kedua 2013
Pengarang      : Desi Puspitasari
Halaman        : 170 halaman
Bintang          : 4 of 5 stars

Agus, pria gondrong yang memiliki hobby balap motor diam-diam menyukai gadis bernama Airin—gadis yang merupakan teman SMP nya. Mereka dipertemukan kembali saat Agus membantu seorang ibu yang mengalami kecopetan. Saat Agus melakukan perkelahian dan terjatuh, tiba-tiba ada seorang gadis cantik berjilbab yang menendang copet tersebut. Apa ini skenario jodoh ya?
Secara kasat mata memang ada perbedaan yang mendasar antara Agus dan Airin. Agus terkesan urakan dan ugal-ugalan sedangkan Airin adalah wanita yang taat agama dan smart. Akan tetapi jika ditelisik lebih mendalam, Agus sebenarnya adalah sosok yang baik? Mengapa saya bilang demikian (Secara pribadi)? Ini udah menilai berdasarkan perasaan. Haha. Karena Agus sangat penyayang terhadap ibunya. Dia hanyalah korban keadaan.
Agus memiliki seorang kakak yang didambakan menjadi penerus perusahaan keluarga. Namun takdir berkata lain, kakaknya meninggal karena sakit. Sejak saat itulah, kesedihan mendalam menyelimuti Bapaknya. Bapaknya tenggelam dengan pekerjaannya dan lebih sering tidak pulang. Agus yang diharapkan menjadi pengganti kakaknya ternyata membuat keadaan tersebut menjadi beban dan tekanan. Hasilnya, Agus menjadi pria yang bebas, sering pulang malam dan penyuka balap motor.
Hal yang menarik yang diceritakan disini adalah saat Agus pulang larut malam, ia sering mendapati ibunya mengenakan mukena—sholat tahajud. Berkali-kali Agus menanyakan kepada ibunya, kenapa gemar sekali sholat tahajud, senyum ibunya selalu mereka, wajahnya bersinar menatap putranya. Meskipun ibunya menjelaskan mengapa ia menggemari tahajud, namun bagi Agus, jawaban itu teramat klisei baginya.
Sebelum saya membaca utuh buku ini, saya mengira bahwa sholat tahajud yang dimaksud dalam cerita ini diperuntukkan untuk hajat meminta jodoh. Tapi ternyata saya salah besar. Tahajud dilakukan oleh seorang ibu untuk senantiasa mendoakan anaknya. Oh Really so sweet.
Berjalannya waktu, Agus memberanikan diri untuk nembak Airin. Setali tiga uang, ada teman Airin yang juga jatuh cinta dengannya—Dewa. Meskipun secara cerita sudah ditebak bahwa Airin sebenarnya juga mencintai Agus, akan tetapi penulis ingin memerpanjang lagi nafas cerita novel ini dengan membelokkan sedikit arah cerita. Airin tidak menerima Agus maupun Dewa. Ia berprinsip tidak ingin pacaran dan memercayai bahwa jodoh pasti bertemu. Iya, seperti judul lagunya Afgan.haha
Feeling lelaki kadang-kadang benar. Dewa merasa kalau Airin mencintai Agus, sehingga ia kalap mamukul Agus karena merasa dirinya telah merebut Airin darinya. Kadang kekanak-kanakan sih kalo sampe kayak gini, tapi adegan ini ada yang nyata lho. Setelah mendengar penjelasan Agus kalau dirinya juga mendapat penolakan dari Airin, sikap Dewa mendadak meluruh.
Agus mengalami shock ketika ibunya meninggal. Entah mengapa sikapnya menajdi berubah. Ada hal yang ia cari tapi gagal menemukan jawabannya. Dia memutuskan untuk pergi jauh dengan motornya. Di suatu malam ia menemukan sebuah mushola yang ternyata di sanalah ia menemukan jawaban mengapa dulu sangat menggemari tahajud.
Sikap Agus kian hari kian berangsur menjadi pribadi yang lebih baik. Menyelesaikan skripsi, tidak balap liar dan rajin tahajud. Agus bersedia bekerja di perusahaan bapaknya dengan satu syarat bahwa ia memulainya dari nol. Saat kehidupannya mulai tertata, Agus kembali mencari tau mengenai Airin. Kalian bisa nebak kan endingnya gimana? :D
Novel ini pernah dibikin FTV. Meskipun belum pernah melihat FTV tersebut, kalo boleh mbayangin nih ya, pemeran dalam FTV tersebut adalah sebagai berikut :D
Ibu     : Henidar Amroe
Bapak : Mathias Mucus
Airin    : Ririn Dwi Ariyanti
Agus   : Aldi Bragi
Dewa  : Adiknya Aldi Bragi aja deh yang dulu rumornya mantan Tika Panggabean (hahaha, gak boleh protes ya, list ini hanya untuk kidding-kiddingan aja)



Senin, 27 Oktober 2014

Review 4 # Dikatakan atau tidak dikatakan itu tetap cinta



Judul         : Dikatakan atau tidak dikatakan itu tetap cinta
ISBN          : 978-602-03-0718-3
Hal            : 69 halaman
Cetakan     : Kedua, September
Penerbit     : Gramedia Pustaka Utama
Penulis       : Tere Liye
Bintang      : 4 of 5

Kumpulan 24 sajak dengan ilustrasi terbaik dari Tere Liye.
Sajak tentang memiliki, pun tentang melepaskan
Sajak tentang pertemuan, juga tentang perpisahan
Sajak tentang kebahagiaan, juga tentang kesedihan
Tambahkan pula sajak berguarau
Bercanda dengan perasaan

Para pecinta adalah pujangga terbaik yang pernah ada
Dan  kasih saying pun adalah sumber inspirasi paling deras yang pernah ada

REVIEW

Waktu diminta vote sama Tere Liye terkait dengan pemilihan cover buku ini, saya sangat antusias sekali. Berarti ada buku menarik yang akan menjadi teman di kereta. Sempat kehabisan stock di bukabuku.com, beralih ke parcel buku dan alhamdulillah masih ada—sudah masuk cetakan kedua. Mendapat sedikit bocoran dari teman kalo buku ini tipis dan habis sekali kedip (sarkas banget ya, sekali kedip. Ahaha).

Ternyata benar, buku ini tipis, tapi tetap saja membacanya gak bisa sekali kedip. Perjalanan stasiun Juanda-Pondok China khatam. Bahasanya ringan, mudah dicerna. Entah sajak atau lebih tepatnya sebagai susunan kalimat yang inspiratif. Kalau boleh saya merangkum, buku ini bercerita tentang suatu proses—proses cinta, proses melepaskan, proses sabar, etc. Banyak pesan-pesan yang tersirat mendalam bagi pembacanya, seberapa menyakitkan luka itu, nikmatilah, peluklah.
Maka berhentilah sejenak saat sakit hati itu tiba, rasakan segenap sensasinya // Lantas tertawa kecil atau terkekeh juga boleh, kita adalah manusia (hal 28)
Sebagian besar tulisan dalam buku ini pernah di-share di page resmi Darwis Tere Liye, sepotong-potong memang, Cuma bila digabungkan bait-bait tersebut, akan membentuk 1 puisi.

Tulisan ini dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi yang (mungkin) digambar oleh putra semata wayang Tere Liye—Abdullah Pasai :p. Ah, siapapun yang menggambarkannya, saya tetap suka, atau mungkin karena gaya bahasa Tere Liye adalah selera saya? :D

Dari ke 24 sajak yang dituliskan dalam buku tersebut, ada satu sajak yang sangat saya suka. Judulnya “Sajak Embun dan Perasaan

Kenapa embun itu indah?
Karena butir airnya tidak menetes
Sekali dia menetes, tidak lagi embun

Kenapa purnama itu elok?
Karena bulan balas menatap di angkasa
Sekali dia bergerak, tidak ada lagi purnama

Aduhai, mengapa sunset menakjubkan?
Karena matahari menggelayut malas di kaki langit
Sekali dia melaju, hanya tersisa gelap dan debur ombak

Mengapa pagi menenteramkan dan dingin?
Karena kabut mengambang di sekitar
Sekali dia menguap, tidak ada lagi pagi

Di dunia ini,
Duhai, ada banyak sekali momen-momen terbaik
Meski singkat, sekejap
Yang jika belum terjadi langkah berikutnya
Maka dia selalu special

Sama dengan kehidupan kita, perasaan kita
Menyimpan perasaan itu indah
Karena penuh misteri dan menduga
Sekali dia tersampaikan, tidak ada lagi menyimpan

Menunggu seseorang itu elok
Karena kita terus setia berdiri
Sekali dia datang, tidak ada lagi menunggu

Bersabar itu sungguh menakjubkan
Karena kita terus berharap dan berdoa
Sekali masanya tiba, tiada lain kecuali jawaban dan kepastian
Sungguh tidak akan keliru bagi orang-orang yang paham

Wahai, tahukah kita kenapa embun itu indah?
Karena butir airnya tidak menetes
Sekali dia menetes, tidak ada lagi embun
Maka singkat yang begitu berharga

Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, bahwa sajak-sajak Tere Liye berisi pelipur perasaan. Meneguhkan ajaibnya kesabaran, azimat doa dan ketekunan berusaha. Sajak-sajak dalam buku tersebut menjadi antitesis dari “Cinta yang selalu diucapkan dan harus memiliki”. Kutipan sajak Embun dan Perasaan menjadi salah satu dari sajak-sajak Tere Liye yang lainnya yang menyiratkan bahwa saat belum siap untuk menikah, mending kita menjaga perasaan kita baik-baik—karena itu momen terbaik. Sekali kita mengatakannya, perasaan itu seperti menguap begitu saja. Sungguh tidak akan keliru bagi orang-orang yang paham. Manis sekali filosofinya.
Jangan mengeluh // jangan risau // hanya orang-orang terbaik yang akan lulus // lantas melihat kristal cintanya begitu indah (Sajak UN-hal 7)
Hanya orang-orang terbaiklah yang akan mendapatkan kabar baik // hanya orang-orang bersabarlah yang akanmenrima hadiah indah (Sajak Hujan-hal 10)
Eh, ternyata ada satu sajak lagi yang saya suka dari Buku ini, here we go.


Ssstt… diamlah sebentar!
Cinta sejati hanya bisa didengar justru dalam senyap
Bukan gegap gempita kalimat yang mengaburkan makna
Dan kita tertipu oleh tampilannya

Ssstt.. ayo duduk sejenak!
Cinta sejati hanya bisa dikenali saat sepi
Diperhatikan dengan seksama, dalam kesadaran diri paripurna
Bukan berisik teriak-teriak “Aku cinta kamu!”
Tapi esok lusa kita meratap kencang-kencang sebaliknya

Ssstt.. bisakah kita diam dulu?
Agar cinta sejati menunjukkan diri sebenarnya
Apakah yang ini, atau yang itu, atau mungkin yang lain lagi
Dan kita harus menunggu dan bersabar bersabar (Sajak Diam Sebentar—hal 41)

In the end, saya bisa menyimpulkan bahwa pesan-pesan yang hendak disampaikan penulis adalah antitesis dari realita kebanyakan dalam kehidupan. Saat remaja-remaja disuguhi sinetron dan tontonan yang sebenarnya secara tidak sadar membentuk pembenaran dalam diri mereka—bahwa cinta harus disampaikan, fenomena pacaran, kata-kata I love you yang tumpah ruah seperti buih.

Buku ini menyuguhkan lain daripada yang lain, saat sajak-sajak lain bermunculan karena patah hati, tangisan dan sikap nelangsa  lainnya. Tulisan ini menyiratkan pesan agar pembaca memeluk erat-erat perasaan sakit itu, agar luka dihabisi oleh waktu. Adios