Rabu, 21 Januari 2015

Donate for Comments (Bismillah)


Bismillah, pengen ikut project-nya Oky yang insya Allah menjadi jariyah buat dia :)

Okay, I will donate Rp. 250 for every comments on my post in 2015. Gak ada alasan nominalnya segitu sih.

Ah iya, kalian pengen ikut juga? Ini rambu-rambunya :

1.    Target nominal bebas, kamu bisa menentukan sendiri, dan pastikan bahwa kalian IKHLAS dan SUKARELA. Boleh Rp500, Rp1000, maupun Rp10.000 /per komentar. Saya menargetkan Rp500 untuk setiap komentar yang masuk di blog post tahun 2015 ini, termasuk reply dari saya pribadi. Kalau saya Rp. 250, nanti kalo diakumulasi di akhir, bisa ditambahkan

2.    Komentar yang dihitung hanya dari entri post tahun 2015, yaitu post tanggal 1 Januari 2015 s.d. 31 Desember 2015.

3.    Seluruh komentar dalam entri post apapun selama tahun 2015 akan dihitung. Komentar SPAM tidak dihitung.

4.    Buat Master Post, let everybody know your good intention. Lalu pasang banner Donate for Comments di sidebar blog kamu, link-kan ke Master Post kamu. Agar pengunjung blogmu aware dengan proyek ini. Dan ini bisa jadi jariyah juga kan? Karena secara tidak langsung menggalang amal J

5.    Buat Wrap Up post yang berisi laporan seberapa banyak jumlah komentar dan dana yang berhasil dihimpun. Lalu laporkan juga untuk apa dan kemana dana tersebut kalian sumbangkan

6.    Collected Donation. Apabila teman-teman tertarik, mari bergabung dengan saya dan bersama-sama kita menyumbangkan donasi kita untuk satu atau dua badan amal tertenu. Bisa koordinasi sama Oky

7.    Daftarkan blog kalian (kalau bisa, taruh link Master Post) via linky di bawah ini.

Let’s join with us. Cheers!
-Ayaa-


Wishfull Wednesday ~ 2



Tarraaaaa, Rabu lagi. Apa buku incaran kalian? Yay, saya ada 1 buku yang ngebet banget pengen punya, atau setidaknya baca deh, Cuma sampai sekarang belum kesampaian karena gak re-stock.


Sebagai penggemar berat tulisan Tere Liye, saya belum pernah baca The Gogons, Cuma liat covernya doang di website. Ini nih detail bukunya :

Hallo hallo, ada yang punya buku bekasnya? Sini offer ke saya. Atau mau ngasih Cuma-Cuma? *minta ditampol.


Lalu, buku incaran kalian apa?


Yang mau ikutan WW, bisa dibaca ketentuannya disini. Cheers!

Selasa, 06 Januari 2015

Review 10 # Self Driving


Judul             : SELF DRIVING (Menjadi Driver atau Passanger)

Penulis          : Rhenald Kasali

Penerbit        :  Mizan

Cetakan        : Pertama, September 2014

Tebal            : xiv + 272 Halaman

ISBN             : 978-979-433-851-3

Stars            : 4 of 5


Kasus Ignatius Ryan Tumiwa (48th) yang sempat menggegerkan ranah hukum Indonesia karena  meminta Mahkamah Konstitusi menguji materi Pasal 344 KUHP terhadap UUD 1945. Betapa tidak? Ryan meminta Mahkamah Konstitusi agar melegalkan bunuh diri. Lulusan S2 Jurusan Ilmu Administrasi FISIP UI tersebut mengalami depresi karena telah setahun menganggur.


Mengertikah bahwa ada ratusan ribu Ryan yang butuh perhatian dan kasih sayang? Kemungkinan pendidikan dan gelar terlalu berat bagi mereka. Dunia kampus telah melibatkan diri terlalu jauh dengan melabelkan gelar, ijazah dan nama universitas yang terkesan hebat untuk sesuatu yang mereka tidak mampu “serahkan” kepada pemberi kerja.


Buku yang terdiri dari 13 Bab ini mengupas tentang perbedaan manusia yang  memiliki mental driver atau passanger dalam kehidupannya. Penulis berpendapat bahwa driver adalah sebuah sikap hidup yang membedakan dirinya dari passanger. Anda tinggal memilih, ingin duduk manis menjadi penumpang di belakang, atau mengambil risiko sebagai driver di depan (hal 7).


Driver yang disebutkan dalam buku ini hanyalah sebuah analogi. Dimana maksud dari penulis adalah seseorang yang memiliki mental pemimpin perubahan ke arah lebih baik melalui terobosan-terobosan yang diciptakannya.


Orang tua memiliki tugas pertama dalam mendidik anaknya, memberikan petunjuk mana yang dilarang dan  mana yang dibolehkan. Ironisnya, kebanyakan orang tua menciptakan ketergantungan dengan memberikan kenyamanan kepada mereka (comfort zone). Padahal, salah satu persoalan berat yang dihadapi bangsa ini dalam menghadapi perubahan adalah rendahnya kemampuan kita untuk keluar dari comfort zone (hal 23).


Comfort zone merupakan zona yang mencetak pribadi yang bermental passanger. Dalam buku ini dijelaskan bahwa orang yang bermental penumpang cenderung : kurang kemandirian, dikendalikan oleh kerutinan, mudah mengeluh dan bersungut-sungut, tidak tahu alternatif, mudah frustasi, kurang berhasil dalam karier, menjadi boros (hal 34).


Sebenarnya banyak cara yang dapat dilakukan oleh seseorang yang ingin bertransformasi menjadi seorang driver, yaitu dengan menghadapi resiko. Orang-orang yang berani mengambil resiko biasanya adalah perantau, penemu, penerobos dan pahlawan perang. Sedangkan mereka yang menghindari risiko biasanya adalah mereka yang memperebutkan posisi-posisi internal. Enggan mencoba hal-hal baru dan lebih memilih menghindar daripada berbuat (hal 142).


Penulis dalam bukunya juga berbagi kiat-kiat untuk menjadi pribadi yang kreatif dan inovatif yang merupakan salah dua dari karakter yang bermental driver. Untuk menjadi great driver, diperlukan creative thinking, critical thinking dan  mindset yang tumbuh (hal 189). Ketiga hal tersebut diulas secara mendalam dalam bab tersendiri dengan bahasa yang elegan.


Buku ini menawarkan bagaimana bersikap out  of the box tanpa terkesan menggurui. Dapat dijadikan referensi bagi orang tua, para remaja, dan khususnya para pendidik untuk mengetahui bagaimana cara memberikan stimulus bagi anak didiknya agar dapat berpikir kreatif dan  inovatif layaknya seorang driver yang senantiasa luwes dalam menghadapi zaman yang  selalu berkembang dinamis. Dengan terciptanya mental driver dari generasi penerus bangsa, maka hal tersebut turut mencegah terjadinya kasus Ryan yang sempat depresi karena tidak mampu mengimbangi perubahan zaman. Two thumb up!

Review 9 : Bidadari Bidari Surga

Judul             : Bidadari – Bidadari Surga
Author           : Tere Liye
Penerbit         : Republika
Halaman        : 365
Stars             :  5 of 5

Alkisah, ada sebuah keluarga sederhana yang tinggal di sebuah bukit tertinggi lembah Lahambay yang tekstur tanahnya tidak beraturan. Laisa, kakak yang memiliki hati sebening berlian, yang memberikan pengorbanan yang luar biasa untuk ke 4 adik-adiknya, Dalimunte, Wibisana, Ikanuri dan Yasinta. Berbeda halnya dengan ke-4 adik-adiknya tersebut yang memiliki paras ayu dan tampan. Dalam novel ini Tere Liye menggambarkan Laisa sebagai sosok yang “jelek”—pendek, hitam dan agak bungkuk.

Masyarakat di sekitar mereka kebanyakan masih berpikiran secara konvensional dimana menganggap sekolah tidak terlalu penting untuk anak-anaknya. Selain itu, mereka mengandalakan warisan penduduk terdahulu misalnya, untuk irigasi mereka mengandalkan tadah hujan. Berbeda halnya dengan lingkungannya, meskipun tergolong keluarga yang tidak kaya secara materi, Laisa berpikir untuk ke depan. Ia mengutamakan dan memerhatikan pendidikan formal maupun akhlak adik-adiknya. Ke-4 adiknya pun demikian, mereka cerdas dan memiliki ide-ide yang sangat cemerlang untuk kemajuan masyarakat.

Laisa yang berani mengambil resiko untuk menanam strawberry di pekarangannya. Banyak yang menyangsikan niatnya namun tekadnya sangat kuat untuk melaksanakannya. Sempat gagal memang, akan tetapi ending-nya Laisa berhasil membuktikan bahwa kerj keras yang sungguh-sungguh akan membuahkan hasil. Ia mengambil resiko untuk masa depan adik-adiknya, termasuk ia memutuskan tidak sekolah demi bekerja keras membantu Mamak Lainuri mencari uang untuk biaya sekolah adik-adiknya.

Sekali lagi, saya mengangkat topi untuk Tere Liye. Penggambaran setting, alur dan penokohannya sangat kuat. Emosi saya terbawa dan novel ini adalah salah satu novelnya yang membuat saya menangis. Fyuh. Bagaimana kerja keras dan kesungguhan niat membawa Dalimunte manjadi Profesor tersohor yang disegani, Wibisana dan Ikanuri menjadi pengusaha sukses keliling dunia. Yasinta pun juga memiliki prestasi yang gemilang.

Kasih sayang kakak terhadap adiknya, pun sebaliknya. Bakti anak kepada orang tuanya, pun cinta orang tua yang tidak terperi kepada anaknya digambarka secara apik. Pemaknaan artifisial yang seringkali dilakukan. Laisa yang berkali-kali gagal menikah karena kondisi fisiknya yang dianggap “jelek”. Sehingga “terpaksa” harus dilangkahi adik-adiknya. Emosi saya dibuat kebat-kebit saat membaca ini, apalagi setelah mengetahui bahwa Laisa bukan anak kandung dari Mamak Lainuri. Seperti arti dari namanya, Laisa : anak angkat. Ada adegan yang juga menguras emosi saat Lainuri yang sedang dinasehati Laisa berbalik mengatakan tentang kondisi fisik Laisa dan secara emosional—entah benar benar sadar atau tidak mengatakan bahwa Laisa bukan kakak kandungnya.

Di akhir hayatnya, Laisa belum sempat menikah. Saat adik-adiknya berkumpul bersama segenap keluarga masing-masing (Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana telah menikah dan memiliki anak yang lucu-lucu). Kali ini giliran Yasinta. Ia bersikukuh tidak mau dinikahkan dengan Goughsky. Kondisinya semakin kritis, akhirnya Yasinta menuruti permintaan terakhir kakaknya. Setelah Goughski melafalkan ijab kabul, akhirnya Bidadari Surga tersebut meninggal (Laisa—red).

Epilog :

“Wahai, wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat pulluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga mneikah (mungkin karena keterbatasan fisik, kesempatan, atau tidak pernah ‘terpilih’ di dunia yang amat keterlaluan mencintai materi dan tampilan wajah). Yakinlah, wanita-wanita salheha yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik, dan bersyukur. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar, bidadari surga itu parasnya cantik luar biasa.

Serius, saya merinding berkali-kali baca epilognya