Judul : Bidadari – Bidadari Surga
Author : Tere Liye
Penerbit : Republika
Halaman : 365
Stars : 5 of 5
Alkisah, ada sebuah
keluarga sederhana yang tinggal di sebuah bukit tertinggi lembah Lahambay yang tekstur
tanahnya tidak beraturan. Laisa, kakak yang memiliki hati sebening berlian,
yang memberikan pengorbanan yang luar biasa untuk ke 4 adik-adiknya, Dalimunte,
Wibisana, Ikanuri dan Yasinta. Berbeda halnya dengan ke-4 adik-adiknya tersebut
yang memiliki paras ayu dan tampan. Dalam novel ini Tere Liye menggambarkan Laisa
sebagai sosok yang “jelek”—pendek, hitam dan agak bungkuk.
Masyarakat di sekitar
mereka kebanyakan masih berpikiran secara konvensional dimana menganggap
sekolah tidak terlalu penting untuk anak-anaknya. Selain itu, mereka
mengandalakan warisan penduduk terdahulu misalnya, untuk irigasi mereka mengandalkan
tadah hujan. Berbeda halnya dengan lingkungannya, meskipun tergolong keluarga
yang tidak kaya secara materi, Laisa berpikir untuk ke depan. Ia mengutamakan
dan memerhatikan pendidikan formal maupun akhlak adik-adiknya. Ke-4 adiknya pun
demikian, mereka cerdas dan memiliki ide-ide yang sangat cemerlang untuk
kemajuan masyarakat.
Laisa yang berani mengambil
resiko untuk menanam strawberry di pekarangannya. Banyak yang menyangsikan
niatnya namun tekadnya sangat kuat untuk melaksanakannya. Sempat gagal memang,
akan tetapi ending-nya Laisa berhasil
membuktikan bahwa kerj keras yang sungguh-sungguh akan membuahkan hasil. Ia mengambil
resiko untuk masa depan adik-adiknya, termasuk ia memutuskan tidak sekolah demi
bekerja keras membantu Mamak Lainuri mencari uang untuk biaya sekolah
adik-adiknya.
Sekali lagi, saya
mengangkat topi untuk Tere Liye. Penggambaran setting, alur dan penokohannya
sangat kuat. Emosi saya terbawa dan novel ini adalah salah satu novelnya yang
membuat saya menangis. Fyuh. Bagaimana kerja keras dan kesungguhan niat membawa
Dalimunte manjadi Profesor tersohor yang disegani, Wibisana dan Ikanuri menjadi
pengusaha sukses keliling dunia. Yasinta pun juga memiliki prestasi yang
gemilang.
Kasih sayang kakak terhadap
adiknya, pun sebaliknya. Bakti anak kepada orang tuanya, pun cinta orang tua
yang tidak terperi kepada anaknya digambarka secara apik. Pemaknaan artifisial
yang seringkali dilakukan. Laisa yang berkali-kali gagal menikah karena kondisi
fisiknya yang dianggap “jelek”. Sehingga “terpaksa” harus dilangkahi
adik-adiknya. Emosi saya dibuat kebat-kebit saat membaca ini, apalagi setelah
mengetahui bahwa Laisa bukan anak kandung dari Mamak Lainuri. Seperti arti dari
namanya, Laisa : anak angkat. Ada adegan yang juga menguras emosi saat Lainuri yang
sedang dinasehati Laisa berbalik mengatakan tentang kondisi fisik Laisa dan
secara emosional—entah benar benar sadar atau tidak mengatakan bahwa Laisa
bukan kakak kandungnya.
Di akhir hayatnya, Laisa
belum sempat menikah. Saat adik-adiknya berkumpul bersama segenap keluarga
masing-masing (Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana telah menikah dan memiliki anak
yang lucu-lucu). Kali ini giliran Yasinta. Ia bersikukuh tidak mau dinikahkan
dengan Goughsky. Kondisinya semakin kritis, akhirnya Yasinta menuruti
permintaan terakhir kakaknya. Setelah Goughski melafalkan ijab kabul, akhirnya
Bidadari Surga tersebut meninggal (Laisa—red).
Epilog :
“Wahai, wanita-wanita yang
hingga usia tiga puluh, empat pulluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga
mneikah (mungkin karena keterbatasan fisik, kesempatan, atau tidak pernah ‘terpilih’
di dunia yang amat keterlaluan mencintai materi dan tampilan wajah). Yakinlah,
wanita-wanita salheha yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah,
berbagi, berbuat baik, dan bersyukur. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi
bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar, bidadari surga itu
parasnya cantik luar biasa.
Serius, saya merinding berkali-kali baca epilognya