Selasa, 06 Januari 2015

Review 9 : Bidadari Bidari Surga

Judul             : Bidadari – Bidadari Surga
Author           : Tere Liye
Penerbit         : Republika
Halaman        : 365
Stars             :  5 of 5

Alkisah, ada sebuah keluarga sederhana yang tinggal di sebuah bukit tertinggi lembah Lahambay yang tekstur tanahnya tidak beraturan. Laisa, kakak yang memiliki hati sebening berlian, yang memberikan pengorbanan yang luar biasa untuk ke 4 adik-adiknya, Dalimunte, Wibisana, Ikanuri dan Yasinta. Berbeda halnya dengan ke-4 adik-adiknya tersebut yang memiliki paras ayu dan tampan. Dalam novel ini Tere Liye menggambarkan Laisa sebagai sosok yang “jelek”—pendek, hitam dan agak bungkuk.

Masyarakat di sekitar mereka kebanyakan masih berpikiran secara konvensional dimana menganggap sekolah tidak terlalu penting untuk anak-anaknya. Selain itu, mereka mengandalakan warisan penduduk terdahulu misalnya, untuk irigasi mereka mengandalkan tadah hujan. Berbeda halnya dengan lingkungannya, meskipun tergolong keluarga yang tidak kaya secara materi, Laisa berpikir untuk ke depan. Ia mengutamakan dan memerhatikan pendidikan formal maupun akhlak adik-adiknya. Ke-4 adiknya pun demikian, mereka cerdas dan memiliki ide-ide yang sangat cemerlang untuk kemajuan masyarakat.

Laisa yang berani mengambil resiko untuk menanam strawberry di pekarangannya. Banyak yang menyangsikan niatnya namun tekadnya sangat kuat untuk melaksanakannya. Sempat gagal memang, akan tetapi ending-nya Laisa berhasil membuktikan bahwa kerj keras yang sungguh-sungguh akan membuahkan hasil. Ia mengambil resiko untuk masa depan adik-adiknya, termasuk ia memutuskan tidak sekolah demi bekerja keras membantu Mamak Lainuri mencari uang untuk biaya sekolah adik-adiknya.

Sekali lagi, saya mengangkat topi untuk Tere Liye. Penggambaran setting, alur dan penokohannya sangat kuat. Emosi saya terbawa dan novel ini adalah salah satu novelnya yang membuat saya menangis. Fyuh. Bagaimana kerja keras dan kesungguhan niat membawa Dalimunte manjadi Profesor tersohor yang disegani, Wibisana dan Ikanuri menjadi pengusaha sukses keliling dunia. Yasinta pun juga memiliki prestasi yang gemilang.

Kasih sayang kakak terhadap adiknya, pun sebaliknya. Bakti anak kepada orang tuanya, pun cinta orang tua yang tidak terperi kepada anaknya digambarka secara apik. Pemaknaan artifisial yang seringkali dilakukan. Laisa yang berkali-kali gagal menikah karena kondisi fisiknya yang dianggap “jelek”. Sehingga “terpaksa” harus dilangkahi adik-adiknya. Emosi saya dibuat kebat-kebit saat membaca ini, apalagi setelah mengetahui bahwa Laisa bukan anak kandung dari Mamak Lainuri. Seperti arti dari namanya, Laisa : anak angkat. Ada adegan yang juga menguras emosi saat Lainuri yang sedang dinasehati Laisa berbalik mengatakan tentang kondisi fisik Laisa dan secara emosional—entah benar benar sadar atau tidak mengatakan bahwa Laisa bukan kakak kandungnya.

Di akhir hayatnya, Laisa belum sempat menikah. Saat adik-adiknya berkumpul bersama segenap keluarga masing-masing (Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana telah menikah dan memiliki anak yang lucu-lucu). Kali ini giliran Yasinta. Ia bersikukuh tidak mau dinikahkan dengan Goughsky. Kondisinya semakin kritis, akhirnya Yasinta menuruti permintaan terakhir kakaknya. Setelah Goughski melafalkan ijab kabul, akhirnya Bidadari Surga tersebut meninggal (Laisa—red).

Epilog :

“Wahai, wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat pulluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga mneikah (mungkin karena keterbatasan fisik, kesempatan, atau tidak pernah ‘terpilih’ di dunia yang amat keterlaluan mencintai materi dan tampilan wajah). Yakinlah, wanita-wanita salheha yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik, dan bersyukur. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar, bidadari surga itu parasnya cantik luar biasa.

Serius, saya merinding berkali-kali baca epilognya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thank you for your coming :)