Senin, 27 Oktober 2014

Review 4 # Dikatakan atau tidak dikatakan itu tetap cinta



Judul         : Dikatakan atau tidak dikatakan itu tetap cinta
ISBN          : 978-602-03-0718-3
Hal            : 69 halaman
Cetakan     : Kedua, September
Penerbit     : Gramedia Pustaka Utama
Penulis       : Tere Liye
Bintang      : 4 of 5

Kumpulan 24 sajak dengan ilustrasi terbaik dari Tere Liye.
Sajak tentang memiliki, pun tentang melepaskan
Sajak tentang pertemuan, juga tentang perpisahan
Sajak tentang kebahagiaan, juga tentang kesedihan
Tambahkan pula sajak berguarau
Bercanda dengan perasaan

Para pecinta adalah pujangga terbaik yang pernah ada
Dan  kasih saying pun adalah sumber inspirasi paling deras yang pernah ada

REVIEW

Waktu diminta vote sama Tere Liye terkait dengan pemilihan cover buku ini, saya sangat antusias sekali. Berarti ada buku menarik yang akan menjadi teman di kereta. Sempat kehabisan stock di bukabuku.com, beralih ke parcel buku dan alhamdulillah masih ada—sudah masuk cetakan kedua. Mendapat sedikit bocoran dari teman kalo buku ini tipis dan habis sekali kedip (sarkas banget ya, sekali kedip. Ahaha).

Ternyata benar, buku ini tipis, tapi tetap saja membacanya gak bisa sekali kedip. Perjalanan stasiun Juanda-Pondok China khatam. Bahasanya ringan, mudah dicerna. Entah sajak atau lebih tepatnya sebagai susunan kalimat yang inspiratif. Kalau boleh saya merangkum, buku ini bercerita tentang suatu proses—proses cinta, proses melepaskan, proses sabar, etc. Banyak pesan-pesan yang tersirat mendalam bagi pembacanya, seberapa menyakitkan luka itu, nikmatilah, peluklah.
Maka berhentilah sejenak saat sakit hati itu tiba, rasakan segenap sensasinya // Lantas tertawa kecil atau terkekeh juga boleh, kita adalah manusia (hal 28)
Sebagian besar tulisan dalam buku ini pernah di-share di page resmi Darwis Tere Liye, sepotong-potong memang, Cuma bila digabungkan bait-bait tersebut, akan membentuk 1 puisi.

Tulisan ini dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi yang (mungkin) digambar oleh putra semata wayang Tere Liye—Abdullah Pasai :p. Ah, siapapun yang menggambarkannya, saya tetap suka, atau mungkin karena gaya bahasa Tere Liye adalah selera saya? :D

Dari ke 24 sajak yang dituliskan dalam buku tersebut, ada satu sajak yang sangat saya suka. Judulnya “Sajak Embun dan Perasaan

Kenapa embun itu indah?
Karena butir airnya tidak menetes
Sekali dia menetes, tidak lagi embun

Kenapa purnama itu elok?
Karena bulan balas menatap di angkasa
Sekali dia bergerak, tidak ada lagi purnama

Aduhai, mengapa sunset menakjubkan?
Karena matahari menggelayut malas di kaki langit
Sekali dia melaju, hanya tersisa gelap dan debur ombak

Mengapa pagi menenteramkan dan dingin?
Karena kabut mengambang di sekitar
Sekali dia menguap, tidak ada lagi pagi

Di dunia ini,
Duhai, ada banyak sekali momen-momen terbaik
Meski singkat, sekejap
Yang jika belum terjadi langkah berikutnya
Maka dia selalu special

Sama dengan kehidupan kita, perasaan kita
Menyimpan perasaan itu indah
Karena penuh misteri dan menduga
Sekali dia tersampaikan, tidak ada lagi menyimpan

Menunggu seseorang itu elok
Karena kita terus setia berdiri
Sekali dia datang, tidak ada lagi menunggu

Bersabar itu sungguh menakjubkan
Karena kita terus berharap dan berdoa
Sekali masanya tiba, tiada lain kecuali jawaban dan kepastian
Sungguh tidak akan keliru bagi orang-orang yang paham

Wahai, tahukah kita kenapa embun itu indah?
Karena butir airnya tidak menetes
Sekali dia menetes, tidak ada lagi embun
Maka singkat yang begitu berharga

Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, bahwa sajak-sajak Tere Liye berisi pelipur perasaan. Meneguhkan ajaibnya kesabaran, azimat doa dan ketekunan berusaha. Sajak-sajak dalam buku tersebut menjadi antitesis dari “Cinta yang selalu diucapkan dan harus memiliki”. Kutipan sajak Embun dan Perasaan menjadi salah satu dari sajak-sajak Tere Liye yang lainnya yang menyiratkan bahwa saat belum siap untuk menikah, mending kita menjaga perasaan kita baik-baik—karena itu momen terbaik. Sekali kita mengatakannya, perasaan itu seperti menguap begitu saja. Sungguh tidak akan keliru bagi orang-orang yang paham. Manis sekali filosofinya.
Jangan mengeluh // jangan risau // hanya orang-orang terbaik yang akan lulus // lantas melihat kristal cintanya begitu indah (Sajak UN-hal 7)
Hanya orang-orang terbaiklah yang akan mendapatkan kabar baik // hanya orang-orang bersabarlah yang akanmenrima hadiah indah (Sajak Hujan-hal 10)
Eh, ternyata ada satu sajak lagi yang saya suka dari Buku ini, here we go.


Ssstt… diamlah sebentar!
Cinta sejati hanya bisa didengar justru dalam senyap
Bukan gegap gempita kalimat yang mengaburkan makna
Dan kita tertipu oleh tampilannya

Ssstt.. ayo duduk sejenak!
Cinta sejati hanya bisa dikenali saat sepi
Diperhatikan dengan seksama, dalam kesadaran diri paripurna
Bukan berisik teriak-teriak “Aku cinta kamu!”
Tapi esok lusa kita meratap kencang-kencang sebaliknya

Ssstt.. bisakah kita diam dulu?
Agar cinta sejati menunjukkan diri sebenarnya
Apakah yang ini, atau yang itu, atau mungkin yang lain lagi
Dan kita harus menunggu dan bersabar bersabar (Sajak Diam Sebentar—hal 41)

In the end, saya bisa menyimpulkan bahwa pesan-pesan yang hendak disampaikan penulis adalah antitesis dari realita kebanyakan dalam kehidupan. Saat remaja-remaja disuguhi sinetron dan tontonan yang sebenarnya secara tidak sadar membentuk pembenaran dalam diri mereka—bahwa cinta harus disampaikan, fenomena pacaran, kata-kata I love you yang tumpah ruah seperti buih.

Buku ini menyuguhkan lain daripada yang lain, saat sajak-sajak lain bermunculan karena patah hati, tangisan dan sikap nelangsa  lainnya. Tulisan ini menyiratkan pesan agar pembaca memeluk erat-erat perasaan sakit itu, agar luka dihabisi oleh waktu. Adios



Selasa, 14 Oktober 2014

Review 3 # RUMAH COKLAT


Author                 : Sitta Karina
Cetakan               : kedua, 2012
Penerbit              : Buah hati
ISBN                  : 978-602-8663-74-8
Halaman             : 226 hlm
Bintang               : 4 of 5

Hannah, wanita karier yang sekaligus merangkap sebagai seorang istri dari seorang pria bernama Wigra. Keduanya telah dikaruniai seorang putra (2th)—Razsya, yang sedang aktif belajar banyak hal. Hannah. Kegamangan Hannah memuncak saat putra semata wayangnya lebih akrab dengan Upik yang notabene nya hanya sebagai baby sitter saja. Dalam konflik ini, saya benar-benar menghayati peran Hannah. Haha

Bagaimana Hannah bekerja mati-matian di kota metropolitan yang  kemacetannya entah akan berakhir kapan. Rasanya waktu di Jakarta menguap di jalanan. Wigra yang menjadi penyeimbang Hannah, selalu sabar menghadapi keluhan-keluhan Hannah. Selalu menemani Razsya saat Ibunya (Hannah-red) melampiaskan hobbinya di akhir pekan—melukis.

Sitta Karina dengan apik menciptakan konflik-konflik yang sebenarnya dialami oleh kebanyakn keluarga pada umumnya, terutama menekankan kehidupan keluarga kecil yang masih tinggal dengan orang tuanya. Sitta juga menjelaskan seluk beluk infeksi Viral, pentingnya ASI, saat balita demam dengan penggambaran yang secara tidak langsung mengedukasi pembacanya.

“Ia menghormati mertuanya dengan semestinya, tapi memilih untuk tidak dekat layaknya sepasang sahabat, seperti kebanyakan teman-teman prianya lakukan. Lebih baik menjaga jarak aman agar respek tersebut tidak luntur—dan hidupnya tidak diatur-atur oleh Eyang Yanni (hal166)”

Saya jadi berpikir, bijaksananya Wigra dalam memposisikan dirinya terhadap mertuanya yang kadang-kadang ikut campur dalam pola asuh Razsya—seringkali menyulut permasalahan dengan Hannah, karena secara prinsip ada pola asuh Eyang Yanni yang bertentangan dengan pola asuh Hannah.

Hannah selalu berupaya untuk senantiasa menemani tumbuh kembang Razsya dan tidak membiarkan Upik memenangkan hatinya. Meskipun hati Hannah kadang-kadang merasa panas bila Razsya lebih memilih bermain dengan Upik daripada dengannya. Tidak mengherankan jika Razsya begitu dekat dengan Upik, karena sehari-hari waktu efektif Razsya dihabiskan bersama Upik daripada bersama Ibu dan Ayahnya. Tetapi dalam sanubari Hannah, ia sangat berterima kasih pada Upik karena telah telaten merawat Razsya bahkan Upik mencatat hal-hal kecil tentang Razsya, alergi makanan misalnya.

Sejenak saya masih bingung mengapa judulnya adalah “Rumah Coklat” meskipun tidak mengurangi rasa kagum saya terhadap konten cerita yang ingin disampaikan. Ataukah penulis ingin menyampaikan bahwa coklat adalah peredam stress terhadap konflik-koflik yang yang timbul? May be.
Klimaks cerita ini adalah saat Upik memutuskan untuk resign  karena harus mengurus ibunya yang sedang sakit. Hannah dihadapkan dengan pilihan sulit. Wanita karier atau ibu rumah tangga atau malah mengerjakan keduanya dengan konsekuensi tenaganya harus ekstra. Saya saja bisa membayangkan bagaimana kegalauan Hannah. Hihi #pukpukHannah

Wigra berperan penting disini, support yang diberikan kepada Hannah, apapun keputusannya. Aduh melted banget suami yang beginian, terlebih lagi ada scene saat Wigra menasihati Rasza “Jagain Ibu ya, Nak. Hormati perempuan. Kalau nanti Razsya sudah besar dan mau berbuat seenaknya ke perempuan, ingat ibu. Menyakiti mereka sama dengan menyakiti Ibu (hal171)”, duh makin ngefans sama Wigra deh. Entah kenapa adagium itu semakin menguatkan kebenaran bahwa salah satu ciri lelaki yang baik adalah lelaki yang memuliakan ibunya.

Buku ini bertutur tentang keluarga kecil dengan segala problematika yang diangkat dari kehidupan sehari-hari. Tidak menggurui tetapi banyak hikmah yang terpuji. Twi thumbs up!

Ini buku pertama Sitta Karina yang saya baca dan membuat saya tertarik untuk membeli Dunia Mara yang konon merupakan serial keluarga Hanafiah.

Happy reading ladies and gentleman. Salam Sipirilly.

Sabtu, 11 Oktober 2014

Quote #1

Kau tidak pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya (Harper Lee-To Kill a Mockingbird)

Saat ini media seakan-akan menggiring pembacanya hanya untuk membaca kulitnya tanpa memahami isi yang sebenarnya. Don’t judge the books by its cover. I think we must be a smart person in related to bad news in media. Maybe, the content of the news is not really truth indeed.