Minggu, 30 November 2014

Review 6 # RINDU

   https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSKiTtPC0o3UZ0H5rSzJZrO1sludKHbp-wndY8iPE-FNI11QDBUYzvlhx60Qfe2zL_FAMaUhXWo7YGp91vm2LASzRuHKVULoQQc_0REDSEO4qIwnj8v4KZruwpT94XiB6xD4VqVH21x4k/s1600/RINDU.jpg

Author                : Tere Liye
Cetakan              : kedua, November 2014
Penerbit              : Republika
ISBN                  : 978-602-8997-90-4
Halaman             : 544 hlm
Bintang               : 5 of 5

Dalam sebulan buku ini sudah masukan cetakan yang kedua. Makin gak sabar membaca. First, i assume that the meaning of “YEARN” in the subtitle of this book is about love things. Tetapi ternyata saya salah kaprah, memang ada kisah percintaan tetapi bukan itu esensi dari Rindu yang dimaksud dari judul ini. Gaya khas Tere Liye kental sekali mengkombinasikan filosofi dalam pertanyaan-pertanyaan pada sebuah cerita. Setelah membaca lengkap isi buku ini, saya berkesimpulan bahwa buku ini seperti cerita Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Bedanya, dalam RTdW, filosofi-filosofi hanya dimainkan oleh Ray dan dijawab oleh sosok misterius. Sedangkan dalam kisah ini pertanyan tersebut ditanyakan oleh beberapa peran ; Daeng Andipati, Ambo Uleng, Bundo Upe, Mbah Kakung bahkan yang menjawab pertanyaan dari pertanyaan keempat peran tersebut—Gurutta Ahmad Karaeng, juga memiliki pertanyaan dalam kehidupannya.

Novel ini menceritakan tentang perjalanan haji yang dilakukan pada jaman dahulu waktu masih penjajahan kompeni yang menggunakan alat transportasi kapal. Kapten dari kapal tersebut bernama Kapten Phillips—dan saya menebak bahwa penulis juga terinspirasi dari nama kapten pada film Kapten Phillips. Kapal yang menuju Jeddah tersebut berhenti di beberapa titik untuk menjemput penumpang.

Penumpang dalam perjalanan akbar ini antara lain Gurutta Ahmad Karaeng, Bundo Upe dan suaminya, Mbah Kakung dan Mbak Putri, Ambo Uleng, Daeng Andipati beserta istri dan kedua putrinya—Anna dan Elsa. Selain itu ada penumpang-penumpang lainnya dalam cerita ini yang menjadi figuran.

Alur, setting dan plotnya yang dikemas secara apik oleh penulis membuat saya berkali-kali menahan nafas, membaca scene beberapa kali sambil menggaris bawahi (iya takut lupa reportase ini—ahaha). Ada beberapa misteri yang satu per satu diuraikan dalam bab berikutnya. Tidak seperti novel tere liye yang lainnya, yang membuat saya kehabisan tisu karena misek-misek. Buku ini spesial pake sambal, PAS takarannya.

Alkisah, Kapal Blitas Holland, adalah kapal yang digunakan untuk mengangkut penumpang yang hendak berhaji. Ada beberapa pelabuhan besar  persinggahan—Makassar, Surabaya, Batavia, Semarang, , Lampung, Bengkulu, Padang, Banda Aceh, Kolombo dan Jeddah.

Di pelabuhan Makassar, seorang ulama besar bernama Ahmad Karaeng yang hampir saja dicekal naik oleh Sersan Lucas. Karena dianggap menyebarkan semangat kemerdekaan. Ada juga Daeng Andipati, seorang pedagang terkemuka yang juga mengajak istri serta kedua putrinya bernama Elsa dan Anna.

Di pelabuhan Makassar, Kapten Phillips merekrut seorang pemuda untuk menjadi kelasi di kapalnya, Ambo Uleng (Anak lelaki yang bercahaya bagaikan rembulan). Pemuda berkulit hitam, pendiam dan menyisakan misteri akibat nanar hatinya.
 “Dalam banyak hal, diam justru membawa kebaikan”

Ada 5 tokoh sentral yang mencadi tokoh cerita di buku ini :

Bonda Upe

Gadis keturunan China yang memilliki masa lalu yang kelam sebagai cabo. Hidupnya selalu dihantui oleh perasaan bersalah. Hingga pada suatu waktu, ia kembali dipaksa mengingat masa lalunya yang kelam saat bertemu dengan sejawatnya di pelabuhan Batavia. Serius saya tertegun.

“Kita tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Itu kehidupan kita. Tidak perlu siapapun mengakuinya untuk dibilang hebat. Kitalah yang tau persisi setiap perjalanan hidup yang kita lakukan. Karena sebenarnya yang tahu persis apakah kita bahagia atau tidak, tulus atau tidak, hanya diri kita sendiri. Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita sendiri. Nyes.

Daeng Andipati

Daeng Andipati “kelihatan” bahagia di mata orang-orang. Mapan, memiliki istri cantik dan anak-anak yang cerdas. Jauh di lubuk hatinya, Daeng Andipati masih mencari-cari makna kebahagiaan itu sendiri karena ada kebencian yang menganga terhadap ayahnya. Orang lain melihat sosoknya sebagai pribadi yang selalu bahagia dan selalu mendapatkan apa yang ia inginkan, padahal dalam sanubarinya menyimpan dendam yang ia simpan sendiri sejak kecil.

“Berhenti membenci ayahmu, karena kau sedang membenci diri sendiri. Berikanlah maaf karena kau berhak atas kedamaian dalam hati. Tutup lembaran lama yang penuh coretan keliru”

Ambo Uleng

Pemuda pendiam yang menyimpan luka hati mendalam karena patah hati ingin berlari sejauh mungkin. Hingga takdir membawanya kembali pada jodoh yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.

“Maka jangan pernah merusak diri sendiri. Kita boleh jadi benci atas kehidupan ini. Boleh kecewa. Boleh marah. Tapi ingatlah nasihat lama, tidak pernah ada pelaut yang merusak kapalnya sendiri (hal 284). Penjelasan atas pertanyaan Ambo Uleng terdapat di halaman 399-407.

Mbah Kakung dan Mbah Putri

2 sejoli ini sangat romantis meskipun usianya sudah senja. Hingga akhirnya, di tengah perjalanan kapal menuju Jeddah, Mbah Putri meninggal dunia dan jasadnya disemayamkan di tengah lautan. Kesedihan yang tiada terperi dirasakan oleh Mbah Kakung. Keadaan tersebut juga sempat membuat suasana kapal lengang karena penumpang juga merasakan kesedihan Mbah Kakung.

 “Yakinilah bahwa kematian Mbah Putri adalah takdir Allah yang terbaik. Biarkan waktu mengobati semua kesedihan dan lihatlah penjelasan ini dari kacamata yang berbeda.

Gurutta

Ia digambarkan sebagai seorang ulama yang sangat arif dan bijaksana. Dalam perjalanan ke Jeddah, waktunya dihabiskan untuk menulis.

Quote yang saya suka dari Gurutta adalah “Jika kau ingin menulis satu paragraf yang baik, kau harus membaca satu buku. Maka jika dalam tulisan itu ada beratus-ratus paragraf, sebanyak itulah buku yang harus kau baca (hal 196).

Dalam cerita ini, Gurutta yang dianggap sebagai ulama bagi penumpang lainnya, ternyata juga memiliki pertanyaan besar dalam hidupnya. Hingga tanpa kejadian, dalam sebuah scene, pertanyaan tersebut terjawab lengkap.

“Lawanlah kemungkaran dengan 3 hal : dengan tanganmu, tebaskan pedang penuh gagah. Dengan lisanmu, sampaikan dengan perkasa. Dan dengan benci dalam hati, tapi itu sungguh selemah-lemahnya iman.
Apakah mungkin karena ia sendiri memang tidak pernah seyakin itu atas pengetahuan yang ia miliki? Apakah mungkin karena ia sendiri memang tidak sebijak, setangguh, bahkan sebaik itu? Mungkin itu bagian yang paling munafik dalam seluruh cerita. Bagaimana ia menulis sebuah buku yang membuat jutaan pembaca tergerak hatinya, jika ia sendiri tidak tergerak? Bagaimana ia bicara tentang perlawanan, tapi ia sendiri adalah pelaku yang paling pengecut?

Highly recommended book.

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thank you for your coming :)