Author :
Tere Liye
Cetakan
: kedua, November 2014
Penerbit : Republika
ISBN :
978-602-8997-90-4
Halaman :
544 hlm
Bintang
: 5 of 5
Dalam
sebulan buku ini sudah masukan cetakan yang kedua. Makin gak sabar membaca. First,
i assume that the meaning of “YEARN” in the subtitle of this book is about love
things. Tetapi ternyata saya salah kaprah, memang ada kisah percintaan
tetapi bukan itu esensi dari Rindu yang dimaksud dari judul ini. Gaya khas Tere
Liye kental sekali mengkombinasikan filosofi dalam pertanyaan-pertanyaan pada
sebuah cerita. Setelah membaca lengkap isi buku ini, saya berkesimpulan bahwa
buku ini seperti cerita Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Bedanya, dalam RTdW,
filosofi-filosofi hanya dimainkan oleh Ray dan dijawab oleh sosok misterius.
Sedangkan dalam kisah ini pertanyan tersebut ditanyakan oleh beberapa peran ; Daeng
Andipati, Ambo Uleng, Bundo Upe, Mbah Kakung bahkan yang menjawab pertanyaan
dari pertanyaan keempat peran tersebut—Gurutta Ahmad Karaeng, juga memiliki
pertanyaan dalam kehidupannya.
Novel
ini menceritakan tentang perjalanan haji yang dilakukan pada jaman dahulu waktu
masih penjajahan kompeni yang menggunakan alat transportasi kapal. Kapten dari
kapal tersebut bernama Kapten Phillips—dan saya menebak bahwa penulis juga
terinspirasi dari nama kapten pada film Kapten Phillips. Kapal yang menuju
Jeddah tersebut berhenti di beberapa titik untuk menjemput penumpang.
Penumpang
dalam perjalanan akbar ini antara lain Gurutta Ahmad Karaeng, Bundo Upe dan
suaminya, Mbah Kakung dan Mbak Putri, Ambo Uleng, Daeng Andipati beserta istri
dan kedua putrinya—Anna dan Elsa. Selain itu ada penumpang-penumpang lainnya
dalam cerita ini yang menjadi figuran.
Alur,
setting dan plotnya yang dikemas secara apik oleh penulis membuat saya
berkali-kali menahan nafas, membaca scene beberapa kali sambil menggaris
bawahi (iya takut lupa reportase ini—ahaha). Ada beberapa misteri yang satu per
satu diuraikan dalam bab berikutnya. Tidak seperti novel tere liye yang
lainnya, yang membuat saya kehabisan tisu karena misek-misek. Buku ini
spesial pake sambal, PAS takarannya.
Alkisah,
Kapal Blitas Holland, adalah kapal yang digunakan untuk mengangkut penumpang
yang hendak berhaji. Ada beberapa pelabuhan besar persinggahan—Makassar,
Surabaya, Batavia, Semarang, , Lampung, Bengkulu, Padang, Banda Aceh, Kolombo
dan Jeddah.
Di
pelabuhan Makassar, seorang ulama besar bernama Ahmad Karaeng yang hampir saja
dicekal naik oleh Sersan Lucas. Karena dianggap menyebarkan semangat
kemerdekaan. Ada juga Daeng Andipati, seorang pedagang terkemuka yang juga
mengajak istri serta kedua putrinya bernama Elsa dan Anna.
Di
pelabuhan Makassar, Kapten Phillips merekrut seorang pemuda untuk menjadi
kelasi di kapalnya, Ambo Uleng (Anak lelaki yang bercahaya bagaikan rembulan).
Pemuda berkulit hitam, pendiam dan menyisakan misteri akibat nanar hatinya.
“Dalam banyak hal, diam justru membawa kebaikan”
Ada
5 tokoh sentral yang mencadi tokoh cerita di buku ini :
Bonda Upe
Gadis
keturunan China yang memilliki masa lalu yang kelam sebagai cabo.
Hidupnya selalu dihantui oleh perasaan bersalah. Hingga pada suatu waktu, ia
kembali dipaksa mengingat masa lalunya yang kelam saat bertemu dengan
sejawatnya di pelabuhan Batavia. Serius saya tertegun.
“Kita
tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Itu kehidupan kita. Tidak perlu siapapun
mengakuinya untuk dibilang hebat. Kitalah yang tau persisi setiap perjalanan
hidup yang kita lakukan. Karena sebenarnya yang tahu persis apakah kita bahagia
atau tidak, tulus atau tidak, hanya diri kita sendiri. Kita tidak perlu
menggapai seluruh catatan hebat menurut versi manusia sedunia. Kita hanya perlu
merengkuh rasa damai dalam hati kita sendiri. Nyes.
Daeng Andipati
Daeng
Andipati “kelihatan” bahagia di mata orang-orang. Mapan, memiliki istri cantik
dan anak-anak yang cerdas. Jauh di lubuk hatinya, Daeng Andipati masih
mencari-cari makna kebahagiaan itu sendiri karena ada kebencian yang menganga
terhadap ayahnya. Orang lain melihat sosoknya sebagai pribadi yang selalu
bahagia dan selalu mendapatkan apa yang ia inginkan, padahal dalam sanubarinya
menyimpan dendam yang ia simpan sendiri sejak kecil.
“Berhenti
membenci ayahmu, karena kau sedang membenci diri sendiri. Berikanlah maaf
karena kau berhak atas kedamaian dalam hati. Tutup lembaran lama yang penuh
coretan keliru”
Ambo Uleng
Pemuda
pendiam yang menyimpan luka hati mendalam karena patah hati ingin berlari
sejauh mungkin. Hingga takdir membawanya kembali pada jodoh yang tidak pernah
ia pikirkan sebelumnya.
“Maka
jangan pernah merusak diri sendiri. Kita boleh jadi benci atas kehidupan ini.
Boleh kecewa. Boleh marah. Tapi ingatlah nasihat lama, tidak pernah ada
pelaut yang merusak kapalnya sendiri (hal 284). Penjelasan atas pertanyaan
Ambo Uleng terdapat di halaman 399-407.
Mbah Kakung dan Mbah Putri
2
sejoli ini sangat romantis meskipun usianya sudah senja. Hingga akhirnya, di
tengah perjalanan kapal menuju Jeddah, Mbah Putri meninggal dunia dan jasadnya
disemayamkan di tengah lautan. Kesedihan yang tiada terperi dirasakan oleh Mbah
Kakung. Keadaan tersebut juga sempat membuat suasana kapal lengang karena
penumpang juga merasakan kesedihan Mbah Kakung.
“Yakinilah bahwa kematian Mbah Putri adalah takdir Allah yang terbaik. Biarkan
waktu mengobati semua kesedihan dan lihatlah penjelasan ini dari kacamata yang
berbeda.
Gurutta
Ia
digambarkan sebagai seorang ulama yang sangat arif dan bijaksana. Dalam
perjalanan ke Jeddah, waktunya dihabiskan untuk menulis.
Quote
yang saya suka dari Gurutta adalah “Jika kau ingin menulis satu paragraf yang
baik, kau harus membaca satu buku. Maka jika dalam tulisan itu ada
beratus-ratus paragraf, sebanyak itulah buku yang harus kau baca (hal 196).
Dalam
cerita ini, Gurutta yang dianggap sebagai ulama bagi penumpang lainnya,
ternyata juga memiliki pertanyaan besar dalam hidupnya. Hingga tanpa kejadian,
dalam sebuah scene, pertanyaan
tersebut terjawab lengkap.
“Lawanlah
kemungkaran dengan 3 hal : dengan tanganmu, tebaskan pedang penuh gagah. Dengan
lisanmu, sampaikan dengan perkasa. Dan dengan benci dalam hati, tapi itu
sungguh selemah-lemahnya iman.
Apakah mungkin karena ia sendiri memang tidak pernah seyakin itu atas pengetahuan yang ia miliki? Apakah mungkin karena ia sendiri memang tidak sebijak, setangguh, bahkan sebaik itu? Mungkin itu bagian yang paling munafik dalam seluruh cerita. Bagaimana ia menulis sebuah buku yang membuat jutaan pembaca tergerak hatinya, jika ia sendiri tidak tergerak? Bagaimana ia bicara tentang perlawanan, tapi ia sendiri adalah pelaku yang paling pengecut?
Highly recommended book.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thank you for your coming :)